Joris Misa Lato ibarat pahlawan untuk
anak-anak yang dilacurkan. Lelaki kelahiran Ende, Nusa Tenggara Timur,
itu merupakan salah seorang motor evakuasi pelacur di bawah umur dari
sejumlah lokalisasi di Surabaya. Salah satu obsesinya, mengubah
Lokalisasi Dupak Bangunsari menjadi kampung permukiman warga.
SUMBER: Jawa Pos, Minggu, 23 November 2008
Bagaimana Anda melihat Lokalisasi Dupak Bangunsari dibanding lokalisasi lain di Surabaya?
Dupak
memang berbeda, terutama jika dibanding Dolly dan lokalisasi lain.
Sejak dulu, masyarakat di tempat itu menyatu dengan kehidupan para PSK.
Segala aktivitas kelam berbaur dengan kehidupan sosial.
Seperti apa imbasnya?
Imbas
PSK memang ada yang negatif dan ada yang positif. Kalau yang positif ya
dari sisi ekonomi. Mereka yang punya warung jadi ramai. Yang negatif,
sudah pasti. Kami menemukan ada remaja yang ternyata mengidap penyakit
menular seksual. Nah, karena itu, kami tidak hanya bergerak mendekati
PSK, tapi juga memberi pemahaman kepada masyarakat umum.
Apa yang Anda lakukan kepada PSK?
Kami
berdialog dan mengajak mereka berpartisipasi aktif dalam kehidupan
bermasyarakat umum. Itu dimaksudkan agar mereka memiliki kesadaran
kritis terhadap diri dan kehidupannya. Kalau mereka mau ke arah itu,
pasti akan melakukan tindakan yang menurut mereka sendiri perlu. Jadi,
peran kami tidak mengarahkan mereka untuk begini dan begitu. Kami hanya
memberikan pemahaman.
Pemahaman seperti apa?
Kami
sampaikan kepada mereka segala konsekuensi dari pilihan hidup menjadi
PSK. Mereka yang ingin bertahan harus tahu konsekuensi yang bakal
dihadapi. Baik dari segi kesehatan maupun pandangan sosial. Begitu juga
yang keluar. Intinya, PSK haru siap menerima pilihan hidup mereka ke
depan.
Apakah tidak merasa kesulitan saat masuk ke komunitas PSK?
Memang,
sangat sulit mendatangi mereka dan mengajak mereka dalam sebuah
kegiatan. Mereka kan kebanyakan tidak mau hidupnya diatur-atur. Kami
biasanya masuk dengan memanfaatkan isu HIV/AIDS. Jadi, acaranya soal
penyuluhan HIV/AIDS, tapi isinya lain.
Bagaimana dengan masyarakat sekitar lokalisasi?
Beberapa
warga memang rentan terpengaruh. Kalau mereka terkena penyakit menular
seksual, imbasnya nanti pada anak-anak yang dilahirkan istri mereka.
Sebab, bila tertular dari suami, penyakit tersebut akan memengaruhi
kesehatan rahim.
Upaya yang dilakukan untuk warga?
Kami
lebih fokus kepada pemuda. Apalagi, remaja di sini rentan masuk ke dalam
kehidupan PSK. Indikasinya jelas. Kami menemukan beberapa pemuda yang
terkena infeksi menular seksual. Bukan hanya itu, lingkungan di sini
yang kurang ideal bisa membuat mereka terjerumus ke obat-obatan, miras,
dan sebagainya.
Karena itulah, kami membangun posko hotline yang
bisa digunakan para pemuda untuk berkumpul. Mau apa saja terserah. Mau
membaca buku, mau main musik, bisa. Pokoknya, mereka lakukan apa saja,
silakan. Daripada mereka bermain di luar yang rawan penyakit sosial.
Cukup tempat berkumpul saja?
Mereka
juga kami rangsang untuk membuat kelompok atau komunitas pemuda. Mereka
sendiri yang tahu kebutuhannya apa dan mereka yang menjalankan.
Komunitas apa saja itu?
Ada
dua. Yaitu, Barsa, singkatan dari Barisan Remaja Bangunsari dan
Keong.com, yaitu Kremil Young Community. Kegiatan mereka macam-macam.
Ada pentas teater, aksi damai. Lewat teater itu, mereka banyak
menyampaikan pesan kepada rekan-rekannya agar bisa menjaga diri. Selain
itu, mereka bisa berperan mendidik warga lain melalui
kegiatan-kegiatannya. Apalagi, mereka warga asli sini. Jadi, mereka
pasti lebih memahami apa yang sesuai dengan masyarakat setempat.
Apakah upaya tersebut berhasil?
Ada
seorang anak yang dilacurkan di sini dulu. Dia di sini sejak usia 15
tahun. Saat tiba di sini, dia menjadi primadona. Setiap hari melayani
lebih dari sepuluh pelanggan. Bahkan, penghasilannya bisa mencapai Rp
500 ribu per hari biasa.
Kami lantas mendekati dia dan mengajak
beraktivitas di Posko Hotline Dupak Bangunsari Gang VIII Nomor 15.
Awalnya dia menolak. Namun, lama-kelamaan dia malah aktif ikut
meramaikan posko.
Apakah tidak ada hambatan dalam pendekatan tersebut?
Jelas
ada. Awalnya, saya mengajak dia berbincang secara rutin. Setelah lama
saya dekati, saya kira kami sudah cukup dekat. Lantas saya tanya berapa
uang yang sekarang sudah dia kumpulkan. Dia bilang Rp 27 juta dan ingin
beli rumah. Saya tawari dia rumah di Gresik seharga Rp 21 juta. Dia
langsung marah dan menyebut saya bajingan. Dia kira saya hendak menipu
dengan menawarkan rumah tersebut.
Namun, kami terus berusaha
mendekat. Kami tanamkan kepercayaan kepada dia bahwa kami tidak ingin
mencelakakannya. Dia merelakan penghasilannya dan malah kini menjadi
leader dalam menangani persoalan trafficking serta upaya pencegahan
penyakit infeksi menular seksual.
Anda sudah melakukan beberapa evakuasi terhadap anak-anak yang dilacurkan dari beberapa lokalisasi. Di mana saja itu?
Dupak Bangunsari pernah, di Merauke, Batam, dan Malaysia.
Bagaimana Anda mengetahui ada anak yang dilacurkan di lokalisasi tersebut?
Di
Merauke, misalnya. Dari jaringan informasi yang kami miliki, ada
informasi seorang anak di bawah umur dilacurkan di sebuah rumah bordil.
Kami lantas memburu kejelasan informasi di sana.
Ternyata, anak
tersebut berasal dari Pasuruan. Usianya 15 tahun. Saat itu, ada
seseorang yang menawari pekerjaan di Merauke. Katanya kerja di restoran.
Gajinya bisa sampai Rp 2 juta per bulan. Dia mau saja. Ternyata, di
sana dia dijual ke tempat pelacuran. Kami langsung bergerak
mengevakuasi.
Bagaimana proses evakuasi yang dilakukan?
Dengan
bantuan Yayasan Pemberdayaan Perempuan (YPP), kami menjemput dia
bersama orang tuanya. Kami juga mempersiapkan berkas-berkas untuk
menuntut calo yang menjual dia di rumah bordil tersebut. Bukti-bukti
kami kuat. Calo tersebut akhirnya divonis lima tahun penjara dan
diharuskan membayar denda Rp 150 juta. Mungkin itu adalah kasus hukum
pertama yang mengadili tersangka trafficking.
Di tempat lain?
Kami
pernah mendapat informasi dari sebuah lokalisasi di Batam tentang
adanya empat anak dari Jatim yang dilacurkan di sebuah lokalisasi di
sana. Anak-anak itu berasal dari sebuah desa di Madura. Jaringan di
Batam tidak menyebutkan desa mana tepatnya. Nama anak-anak itu pun tidak
akurat. Sebab, mereka di sana kan ganti-ganti nama.
Saya nekat
pergi ke Madura. Di sana, saya mendapat informasi adanya desa yang
anak-anaknya banyak keluar kampung untuk bekerja. Mencari nama orang
tuanya di desa itu pun tidak mudah. Saya tidak mungkin mengatakan kepada
mereka siapa yang anaknya menjadi korban trafficking. Terpaksa, saya
harus menyamar menjadi calo atau trafficker. Ternyata malah ketemu.
Sebelum
menjemput anak tersebut, saya persiapkan lingkungan dia di desa
asalnya. Saya kondisikan masyarakatnya dengan bantuan tokoh setempat.
Setelah itu, bersama orang tua dan dua anggota dewan, saya menjemput
mereka di Batam.
Tidak ada kesulitan menjemput mereka?
Saya
memang sempat khawatir proses evakuasi akan sulit. Sebab, untuk keluar
dari lokalisasi, pasti sulit karena penjagaan preman. Setelah sampai di
sana, ternyata para penjaganya orang keriting-keriting (masyarakat
Indonesia Timur, Red). Saya langsung masuk dan tidak ada yang berani
mencegah. Mereka malah sungkan.
Apakah banyak PSK yang akhirnya keluar dari lokalisasi?
Di
Dupak Bangunsari sudah sangat banyak. Entah jumlahnya sampai berapa,
saya tidak menghitung. Kami sempat mengalami booming PSK keluar. Sekitar
2001 sampai 2003 lah. Tapi, itu bukan berarti mereka keluar dari
lokalisasi karena upaya kami. Mereka bisa keluar itu karena mereka mau
bekerja sama dengan kami. Sebisa mungkin mereka keluar karena ada
kemauan dari diri sendiri. (aga/fat)
Tentang Joris Misa Lato
Lahir: Ende, Nusa Tenggara Timur, 19 Maret 1966
Riwayat Pendidikan
- SDK Puu Kou 1973-1980
- SMPK Inemete 1980-1983
- SMAN Ende 1983-1986
- Universitas Merdeka Malang 1986-1991
Jabatan
- Staf Lapangan Hotline Surabaya 1991-2000
- Koordinator Program Hotline Surabaya 2000 sampai sekarang